Tags

, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

*Senantiasa menanti kritik dan saran

*karena belum diedit

Suatu ketika saya sedang suntuk dan jenuh. Akhirnya saya menulis. 😀

******************************************

Tentang Mereka yang Melukis:

Junghuhn, Melling, dan Soedjojono

Oleh: Jihan Riza Islami

  Melling menyeimbangkan aura lukisan yang nyaris akademis dengan detail-detail manusiawi yang diselipkannya di sana-sini. – Orhan Pamuk dalam Sebuah Memoar “Istanbul; Kenangan Sebuah Kota”

Bagi Pamuk lukisan-lukisan dan engraving Antoine-Ignace Melling merupakan mahakarya yang setara dengan hasil pekerjaan arsitek maupun ahli Matematika. Sebelum tinggal di Istanbul, seniman berkewarganegaraan Jerman ini sempat belajar melukis, arsitektur, dan matematika pada pamannya. Nampaknya ilmu yang didapat dari sang paman inilah yang telah mempengaruhi gaya melukisnya.

Melling__1

Selain Melling, ada banyak nama orang barat yang tercatat pernah menginjakkan kakinya di Turki. Orhan Pamuk memang sangat beruntung. Bosphorus dan Istanbul dengan sentuhan tangan para kelana Barat telah mewariskan harta yang sangat berharga, baik berupa catatan perjalanan, lukisan, maupun engraving – yang dari sana Pamuk menemukan sudut pandang yang selama ini terlewatkan oleh masyarakat Turki. Detail-detail yang barangkali tidak mereka sadari.

Dengan adanya warisan-warisan tersebut, sudah sepantasnya Pamuk berterima kasih kepada para kelana Barat. Ya walaupun dalam beragam pengamatan Pamuk mendapati bahwa tidak semua kelana Barat memiliki penggambaran yang tepat apa adanya. Malahan beberapa cenderung dilebih-lebihkan, didramatisir agar terkesan eksotis. Dari sekian karya orang Barat, Pamuk begitu menyukai gambaran Knut Hamsun tentang jembatan Galata yang dikenalnya sejak kecil, juga lukisan-lukisan Melling dengan detail yang menurutnya sangat memukau. Kadang ada perasaan bahagia serta bangga ketika dia menemukan kejayaan serta keindahan ornamen Istanbul pada masa Usmani dalam sebuah lukisan. Begitu juga kenikmatan nostalgia dengan pengalamannya sendiri saat membaca karya-karya orang Barat. Semua itu membuatnya larut dalam kesenangan. Kesenangan, yang sayangnya, harus berujung pada sebuah kesadaran bahwa keindahan dan kejayaan itu (menurutnya) telah runtuh bertahun-tahun yang lalu.

Saya sendiri begitu menikmati pembahasan Pamuk tentang Bosphorus di Mata Melling. Ada keinginan, kelak saya akan mencari sumber sejarah tentang Gunungkidul. Lalu saya akan menuliskannya seperti Pamuk menulis memoar Istanbul. Akan tetapi adakah kelana Barat pada masa silam yang tertarik menjelajahi daerah yang terkenal gersang ini, kemudian menulis dan melukiskannya seperti yang dilakukan para kelana Barat di Istanbul? Ketika tiba-tiba keinginan saya terbentur pertanyaan itu dan saya harus mengurungkannya lalu membiarkannya menjadi angan-angan semata.

Hingga suatu hari, beberapa minggu sebelum akhirnya saya memutuskan menulis catatan ini, saya sempat menemukan lukisan milik Junghuhn berjudul “Goenoeng Sewoe”. Sebuah gambaran yang tidak asing. Tersablon pada sebuah kaos milik seseorang yang pada saat itu tengah mengikuti serangkaian pertemuan membahas pengajuan wilayah pegunungan seribu atau kawasan perbukitan kapur Kabupaten Gunungkidul, sebagai kawasan geopark. Lukisan tersebut menggambarkan bentang alam “Goenoeng Sewoe”.

Ini pertama kali saya mengetahui bahwa Jughuhn pernah membuahkan lukisan. Sejak mendengar namanya disebut-sebut dalam buku Geografi SMP (Sekolah Menengah Pertama), tak pernah sekalipun terbersit dalam pikiran saya bahwa Junghuhn memiliki kemahiran dalam melukis, apalagi terbersit pengetahuan bahwa ternyata beberapa karyanya telah dijadikan ilustrasi bagi teori-teorinya yang mahsyur. Hanya dari sebuah teori pembagian iklim (khususnya Pulau Jawa dan Sumatra) secara vertikal beserta vegetasi yang tumbuh pada iklim tersebut saya sedikit tahu tentangnya.

“Perhatikan gambar di bawah ini. Menurut Junghuhn daerah dengan ketinggian kurang dari 600 m atau beriklim panas biasanya didominasi oleh tanaman…” Image

Pertanyaan semacam ini biasanya muncul dalam pelajaran Geografi dan (sesekali) Biologi, dan yang paling sering tentu saja pada saat ujian. Semenjak mempelajari teori Junghuhn, saya diam-diam selalu memperhatikan kanan-kiri setiap kali melakukan perjalanan ke dataran tinggi atau gunung. Akan tampak jelas perbedaannya, mulai dari hamparan padi, deretan pohon kelapa, kemudian semakin naik akan terdapat ladang sayuran yang luas, hingga puncaknya didominasi hutan pinus dan cemara. Pengalaman ini saya dapat misalnya saat melewati jalanan menuju Puncak Ketep (Magelang) atau Kaliurang (Merapi). Kadang saya juga berpikir, barangkali karena teori Junghuhn lah saya termotivasi mengikuti kelompok pecinta alam sewaktu SMA. Dengan alasan ingin membuktikannya langsung di alam.

Suatu hari kami sekelompok (pecinta alam sekolah) melakukan survei lapangan, menyusuri pantai selatan Gunungkidul, mulai dari pantai Sundak sampai Kukup. Pada saat berhenti di titik tertentu, saya melihat seorang kawan laki-laki menggambar jalur yang baru saja kita lewati. “Kira-kira jarak dari titik awal kita berangkat sampai tempat ini sekitar 10 km,” katanya waktu itu sambil menunjukkan gambarnya. Samar-samar saya masih mengingatnya. Beberapa tahun kemudian kawan saya tersebut ternyata benar-benar menjadi pelajar sekaligus peneliti di bidang Geografi. Hmmm… ketekunannya terbayar sudah. Waktu itu saya dan teman yang lain sudah cukup kelelahan dengan medan yang berat dan sama sekali tidak ada inisiatif menggambar seperti itu. Dan mendadak terbayang bagaimana perjuangan Jughuhn sewaktu menjelajahi rimba Sumatra dan Jawa. Melewati medan yang liar dan masih harus fokus dengan pengamatannya. Benar-benar tangguh dan menginspirasi.

Dulu, dari namanya, saya selalu mengira Junghuhn adalah orang China. Bahkan sampai sekarang setiap mendengar namanya disebut. Saya membayangkan dia adalah ilmuwan yang berpenampilan seperti Sun Tzu. Ini murni ketidaktahuan saya kala itu. Mungkin akan berbeda jika saya mengenal nama depan dan tengahnya.

Franz Wilhelm Junghuhn lahir pada tanggal 26 Oktober 1809 di Mansfeld Jerman, dikenal sebagai seorang geologis, botanis, dan ada juga yang menyebutnya sebagai seorang naturalis. Suatu hari, C. H. Persoon, seorang ahli ilmu jamur, menyarankannya bekerja pada pemerintah kolonial Belanda . Pada bulan Juni 1835 Junghuhn berlayar ke Jawa dan mendapat pekerjaan sebagai petugas medis. Ini merupakan awal dari tiga belas tahun hidupnya di daerah tropis.

Sayang, sejak awal Junghuhn memang kurang berminat di bidang pengobatan. Dulu sang ayah menyuruhnya belajar Medicine di Halle dan Berlin padahal dia lebih tertarik pada botani dan geologi. Beruntung sekali bakatnya yang terpendam terbaca oleh beberapa atasannya. Pada tahun 1840, Gubernur Jenderal Merkus mengirimnya ke daerah Batak, Sumatera untuk melakukan penjelajahan dan pengamatan. Hampir dua tahun dia bekerja di medan yang sulit dan berbahaya. Hingga pada tahun 1847 dia berhasil menerbitkan hasil penelitiannya, The Batak Regions of Sumatra (1847). Kemudian dia diberhentikan dari dinas militer dan diangkat sebagai anggota Komisi Ilmu Pengetahuan Alam. Selain “Die Battakltinder auf Sumatra” Junghuhn juga menerbitkan catatan perjalan menelusuri Pulau Jawa.

Dalam masa kerjanya, Junghuhn pernah mengambil cuti beberapa tahun dan kembali ke Eropa. Di Leiden dia banyak membuahkan karya-karya yang gemilang. Lalu pada tahun 1855 dia kembali ke Jawa bersama istrinya. Selama di Jawa, Junghuhn telah banyak menghabiskan waktu untuk jelajah dan menulis. Salah satu bukunya yang mahsyur dan saat ini telah masuk kategori buku langka adalah “JAVA Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw” (Jawa, Bentuk, Vegetasi dan Kandungan tanahnya). Lukisan yang saya lihat sebelum saya menulis catatan ini merupakan satu dari dua ilustrasi yang terdapat dalam buku JAVA Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw. Tergambar beberapa bukit kapur, jalan, dan kera-kera di atas pohon. Pemandangan ini begitu akrab dan mengingatkan saya pada kisah orang-orang tentang kera-kera di daerah Sodong (Paliyan) yang pada musim tertentu turun gunung untuk minum dan mencari makan. Atau pengalaman saya sendiri ketika menemukan beberapa kera bergelantungan pada ranting pohon jati yang tumbuh di sekitar bukit kapur dekat pantai Baron. Image   Rongkop_Gunungkidul

*Maaf, ralat, lokasi pantai dalam lukisan Junghuhn di atas bukan di Rongkop.

Dari lukisan-lukisan Junghuhn tentang bukit-bukit kapur saya jadi teringat seorang teman yang waktu itu bersepeda berpuluh-puluh kilo dari kota Yogyakarta bercerita bahwa dia telah menemukan taman Babilonia yang kemudian dinamainya Babilone of Java. Ini indah dan mengasyikkan. Ribuan bukit kapur telah banyak memberi imajinasi bagi banyak orang. Saya sendiri melihatnya mirip seperti stupa candi. Bayangkan betapa menakjubkannya berkendara di sela-sela ribuan candi, di kanan-kirimu. Apalagi jika kita sempat memperhatikan bukit yang bebatuannya telah ditata oleh penduduk sekitar dengan sangat rapi (yang bertujuan untuk membentuk terasiring sehingga tanah di lereng-lerengnya bisa ditanami palawija). Semacam insting seni yang muncul secara alami.

Lalu saya akan teringat perjalanan ke pantai, ketika melintasi petani-petani yang duduk di pinggiran ladang, di tepi jalan beraspal. Ketika “kebetulan” mereka sedang beristirahat sambil merokok. Aroma rokok “lintingan” (rokok yang mereka racik sndiri) benar-benar memberi nuansa yang khas. Aromanya seperti aroma rokok tukang bangunan sewaktu saya masih kecil. Dan itu akan selalu membawa saya pada suasana jalanan di desa menuju pantai selatan Gunungkidul. Kemudian selang beberapa kilo, di sekitar rumah penduduk, di antara bukit kapur, sesekali dapat kita jumpai telaga dan lapangan sepakbola. Rumputnya hijau, terlihat segar dan rapi. Jika sempat melaluinya pada sore hari, maka akan terlihat anak-anak muda sedang bermain bola di sana.

Barangkali orang yang belum mengenal Junghuhn akan mengira bahwa lukisannya hanyalah sekedar lukisan pemandangan alam seperti karya pelukis-pelukis romantisme kebanyakan. Mengambil objek gunung, sawah, pepohonan, lalu petani atau penduduk sekitar beserta tempat tinggalnya. Tapi bagaimana mungkin penilaian kita sedangkal itu terhadap seorang Junghuhn yang telah melanglang buana dari ujung barat hingga timur Jawa? Seorang kelana Barat yang telah menaklukkan gunung-gunung api di kawasan yang belakangan dikenal sebagai “ring of fire” ini? 25488_10150108751275508_4220076_n

Junghuhn memang besar di saat Romantisme Barat sedang berjaya. Dia telah diakui sebagai salah satu pelaku di dalamnya. Kita bisa melihat dari gaya menulis serta melukisnya. Paragraf dan puisi ini saya kutip dari facebook MOUNTAIN CLIMBING FOR EVERYBODY-VOLCANOES TRIP:

“Masih jelas dalam ingatanku kesan pemandangan hutan-hutan Pulau Jawa yang tak putusnya diselubungi kehijau-hijauan alami yang memesona. Juga pada beribu-ribu bunga di dalamnya yang senantiasa menyebarkan wewangian dan aroma asli nan penuh nikmat. Jelas juga dalam ingatanku berisiknya daun-daun yang diembus angin laut yang lembut, meniup sela-sela pepohonan pisang sampai ke pucuk-pucuk pepohonan kelapa. Jauh di dalam hutan terdengar tak henti-hentinya suara gemuruh jatuhnya air terjun dari lereng gunung yang terjal ke sungai yang berbatu-batu”. (Junghuhn dalam van Steenis)

Masih seperti hidup terkesan di dalam benakku,

hutan rimba nundisana yang terhias oleh hijau abadi beribu ribu bunga,

yang harumnya tidak pernah melemah

Dengan telinga bathinku aku mendengar

angin laut mendesah diantara pohon pohon pisang 

dan puncak puncak pohon nyiur,

deburnya air terjun di daerah pedalaman

yang jatuh dari ketinggian tebing tebing gunung,

seolah olah saya menghirup hawa di pagi yang sejuk,

seakan akan Saya kembali berada di muka gubuk orang jawa yang ramah,

sedang sepi yang senyap masih meliputi hutan rimba asli yang mengelilingi diriku, Tinggi diatas ku,

diawang awang kelompok-kelompok kalong dengan mengibas ngibas sayapnya

bergegas kembali ke daerah tempat bermukimnya disiang hari

kemudian mulai ada kehidupan dan gerakan di sengkuap tajukdari rimba rimba.

Burung burung merak meneriakan cuhungnya.

kera kera mulai lagi permainannya yang lincah,

sedang gema suaranya membangunkan gunung-gunung dengan nyanyian paginya.

beribu ribu burung mulai kicaunya ,

dan sebelum matahari mewarnai langit timur,

puncak yang megah dari gunung di sana telah dipulas dengan emas dan merah cerah

dari ketinggian dia memandai diriku seperti kenalan lama

kerinduanku menanjak

dan dengan haus kuharapkan datangnya hari,

waktu mana aku dapat mengatakan :

“SALAMKU UNTUKMU, GUNUNG-GUNUNG”

(Leiden, November 1851) Gunung Merapi Dieng

Lalu apa yang membuat saya berpendapat bahwa Junghuhn berbeda dari penganut romantisme barat kebanyakan? Kedatangan Junghuhn ke Gunungkidul jelas bukan tanpa sebab. Jelas bukan hanya karena keindahan alamnya semata. Jika melihat rekam jejaknya (sebagai geologis dan botanis) dalam menjelajahi gunung-gunung api di Jawa, maka bisa dipastikan kehadirannya di daerah kapur ini tidak lain adalah karena dia tertarik dengan nilai bentang alam kawasan kars Gunungkidul. Atau barangkali Junghuhn telah menyadari jejak gunung api purba di kawasan tersebut? Saya kira semua itu sudah cukup membuktikan bahwa di balik karyanya yang banyak mendapat pengaruh Romantisme Barat, Junghuhn menyimpan sisi akademis yang luar biasa. Sama seperti Melling.

Orhan Pamuk menyebutkan bahwa pada saat itu Melling tengah menginjak usia sembilan belas tahun ketika memutuskan memulai perjalanan menuju Istanbul. Jika dihitung dari tahun kelahirannya maka peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1781. Keberangkatannya ke Istanbul oleh Pamuk diperkirakan karena terinspirasi Gerakan Romantis yang sedang menggejala di Eropa. Sebuah gerakan seni, sastra serta intelektual yang muncul menjelang akhir abad ke-18 sebagai reaksi terhadap Revolusi Industri. Aliran ini terus berkembang dan mengalami kejayaan pada tahun 1800-1850.

Dengan kemegahan pemandangan Bosphorus, perbukitan, masjid serta tempat-tempat bersejarah, Istanbul pada masa Melling merupakan surga bagi pelukis-pelukis Eropa dan para pengelana Barat. Tak jauh berbeda dengan seniman yang lain, Melling pun menjadikan angle-angle tersebut sebagai objek lukisannya. Namun Pamuk sendiri memiliki pandangan yang berbeda terhadap pelukis favoritnya ini. Menurutnya, Melling sangatlah jauh dari pelukis Barat kebanyakan yang pada saat itu tengah dilanda demam—yang dalam tulisannya dia sebut dengan “figur-figur dari kisah Seribu Satu Malam; Gerakan Romantisme Barat”. Melling merupakan satu di antara banyaknya kelana Barat yang menjelajahi dunia Timur. Dia mengamati setiap detail lalu mengemasnya dalam sebuah karya seni yang luar biasa—yang hanya bisa ditangkap oleh orang yang benar-benar telah mengenal Istanbul. Image

Yang nampak dari lukisan Melling dalam pembacaan Pamuk adalah perpaduan detail arsitektur, topografi dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Melling membuat bhosporus terasa luas tanpa batas seluas pengalaman Pamuk ketika berkendara sepanjang Bosphorus. Dia melukiskan detail monumen dan bangunan bagai seorang ahli matematika sekaligus arsitek. Melukiskan pohon tampak dari kejauhan seperti seorang miniaturis memandangnya dari kejauhan dan menggambarkan aktivitas masyarakat tanpa dibumbui ketegangan dramatis. “Tidak peduli sehebat apa pun monumen atau semegah apa pun pemandangannya, Melling tidak pernah membiarkan semua itu mendominasi lukisan-lukisannya,” tulis Pamuk.

Melling_5     Melling_6

Tapi tentu kita sepakat, alam bagaimanapun juga selalu menyediakan ruang bagi kritik, koreksi bahkan perlawanan. Romantisme lahir sebagai kritik terhadap revolusi industri yang hanya mementingkan sudut pandang materialistis. Kemudian di Indonesia misalnya, sekitar tahun 1937 atau sebelum kemerdekaan, seni lukis modern muncul sebagai wujud perlawanan terhadap Romatisme Barat yang dianggap tidak sesuai dengan semangat zaman. Sindoedarsono Soedjojono atau S. Soedjojono, pioneer perkembangan seni lukis modern Indonesia, pernah mengkritik pelukis-pelukis yang melukis Indonesia hanya untuk menjual keindahan dan keeksotisannya semata. Kemudian bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) dia melakukan perlawanan terhadap Mooi Indie (Beautiful Indies), romantisme kolonial, dengan menciptakan corak seni lukis baru yang lebih menekankan pada tema-tema realisme kerakyatan yang menggambarkan semangat rakyat serta kondisi faktual bangsa.

Ummm… namun (terlepas dari aliran/paham-paham beserta kritiknya tersebut) apa yang saya pahami di sini adalah, baik Soedjojono, Melling, maupun Junghuhn, ketiganya sama-sama memberikan unsur “pendidikan” dalam lukisan-lukisan mereka. Soedjojono mengusung realitas sosial, semangat rakyat serta perlawanan terhadap ketidakadilan. Sementara Melling dan Junghuhn menunjukkan kepada kita bahwa sebesar apapun pengaruh paham atau aliran pada suatu masa tetap saja tidak menghalangi seseorang untuk berjalan di alur pengetahuannya sendiri.

*Beberapa lukisan Junghuhn:

Mungkin bagi ilmuwan dan peneliti, lukisan adalah semacam dokumentasi. Mengingat dulu kamera belum secanggih sekarang. Hehe.. Saya pernah meniru gambar yang ada di buku Biologi paket kelas 2 SMP, yang memang terlihat seperti gambar pemandangan alam. Saya tertarik menirunya karena menurut saya gambar itu menarik. Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin seorang fotografer dengan kamera canggihnya pun akan sulit menemukan momen seperti digambar (ilustrasi sebuah ekosistem hutan). Di gambar itu saya melihat deretan pegunungan, pepohonan, laba-laba, burung berterbangan, sungai, ikan yang melompat di atas permukaan air, seekor kadal, rerumputan, tumbuhan liar lain, dan seorang pemancing. Tentu tidak mudah memotret momen dengan komposisi semacam ini. 🙂 Gunung_Merapi

Gunung Merapi

Puncak Merapi

Image     Image   Image   Image

Sumber:

Pamuk, Orhan. 2009. Istanbul: Kenangan Sebuah Kota. Jakarta: Serambi Gunung Sewu Dossier.pdf ftp://ftp.unesco.org/upload/sc/GGN%20APPLICATIONS%202014/GUNUNG%20SEWU/Gunung%20Sewu%20Dossier.pdf http://mmzrarebooks.blogspot.com/2010/10/java-zijne-gedaante-zijn-plantentooi-en.html http://media-kitlv.nl/image/668bfab2-947b-40aa-b82d-7be4d68878dd http://www.caans-acaen.ca/Journal/issues_online/Issue_XVII_i_ii_1996/BEEKMAN.pdf (E. M. BEEKMAN, UNIVERSITY OF MASSACHUSETTS; Junghuhn’s Perception of Javanese Nature https://www.facebook.com/media/set/?set=a.10150108743800508.401112.10150097602520508&type=1 (MOUNTAIN CLIMBING FOR EVERYBODY-VOLCANOES TRIP) http://sunjayadi.com/alam-hindia-belanda-di-mata-pendatang/ http://www.bentarabudaya.com/seniman.php?g=S&lg=&id=124 http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/s-sudjojono-1 https://www.facebook.com/media/set/?set=a.10150108743800508.401112.10150097602520508&type=1 http://www.siswapedia.com/iklim-menurut-schmidt-ferguson-oldeman-dan-junghuhn/ http://standrewsrarebooks.wordpress.com/2013/02/18/52-weeks-of-inspiring-illustrations-week-35-voyage-pittoresque-de-constantinople-et-des-rives-du-bosphore-1819/ http://luk.staff.ugm.ac.id/itd/Junghuhn/JunghunHaeckel.swf